Rabu, 18 Februari 2009

KAWASAN HUTAN MANGROVE

PENGELOLAAAN KAWASAN HUTAN MANGROVE YANG BERKELANJUTAN

Oleh : Mangrove Information Centre

1. Ekosistem Mangrove

1.1 Sumber Daya Mangrove dan Pesisir

Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada ai laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (sedimentasi ) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dirawat oleh kedua pengaruh darat dan laut.

Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir di sebagian besar-walaupun tidak semua-wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan benda-benda lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata.

Habitat mangrove sendiri memiliki keanekaragaman hayati yang rendah dibandingkan dengan ekosistem lainnya, karena hambatan bio-kimiawi yang ada di wilayah yang sempit diantara darat laut. Namun hubungan kedua wilayah tersebut mempunyai arti bahwa keanekaragaman hayati yang berada di sekitar mangrove juga harus dipertimbangkan, sehingga total keanekaragaman hayati ekosistem tersebut menjadi lebih tinggi. Dapat diambi suatu aksioma bahwa pengelolaan mangrove selalu merupakan bagian dari pengelolaan habitat-habitat di sekitarnya agar mangrove dapat tumbuh dengan baik.

Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama yaitu hasil hutan, perikanan estuarin dan pantai (perairan dangkal), serta wisata alam. Selain itu mangrove memainkan peranan penting dalam melindungi daerah pantai dan memelihara habitat untuk sejumlah besar jenis satwa, jenis yang terancam punah dan jenis langka yang kesemuanya sangat berperan dalam memelihara keanekaragaman hayati di wilayah tertentu.

Karena tekanan pertambahan penduduk terutama didaerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak di seluruh daerah tropis. Kebutuhan yang seimbang harus dicapai diantara memenuhi kebutuhan sekarang untuk pembangunan ekonomi di suatu pihak, dan konservasi sistem pendukung lingkungan di lain pihak. Tumbuhnya kesadaran akan fungsi perlindungan, produktif dan socio-ekonomi dari ekosisitem mangrove di daerah tropika, dan akibat semakin berkurangnya sumber daya alam tersebut, mendorong terangkatnya masalah kebutuhan konservasi dan kesinambungan pengelolaan terpadu sumber daya-sumber daya bernilai tersebut.Mengingat potensi multiguna sumber daya alam ini, maka merupakan keharusan bahwa pengelolaan hutan mangrove didasarkan pada ekosistem perairan dan darat, dalam hubungan dengan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu.

Menipisnya hutan mangrove menjadi perhatian serius negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dalam masalah lingkungan dan ekonomi. Perhatian ini berawal dari kenyataan bahwa antara daerah antara laut dan darat ini, mangrove memainkan peranan penting dalam menjinakkan banjir pasang musiman (saat air laut pasang pada musim penghujan) dan sebagai pelindung wilayah pesisir. Selain itu, produksi primer mangrove berperan mendukung sejumlah kehidupanseperti satwa yang terancam punah, satwa langka, bangsa burung (avifauna) dan juga perikanan laut dangkal. Dengen demikian, kerusakan dan pengurangan sumber daya vita tersebut yang terus berlangsung akan mengurangi bukan hanya produksi dari darat dan perairan, serta habitat satwa liar, dan sekaligus mengurang keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak stabilitas lingkungan hutan pantai yang mendukung perlindungan terhadap tanaman pertanian darat dan pedesaan.


1.2 Cakupan Sumberdaya Mangrove

  1. Satu atau lebih jenis tumbuhan mangrove yang hidupnya hanya di habitat mngrove

  2. Satu atau lebih jenis tumbuhan yang hidup di habitat mangrove, tetapi juga dapat hidup di habitat selain mangrove

  3. Berbagai jenis fauna baik fauna terestris maupun fauna laut yang bersosiasi dengan habitat mangrove, baik secara permanen maupun secara sementara

  4. Semua proses alamiah yang berperan dalam memelihara kberadaan ekosistem mangrove (mis : sedimentasi)

  5. Penduduk yang hidupnya bergantung pada sumber daya mangrove.


1.3 Hutan Mangrove di Indonesia

Hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan di Indonesia di 30 provinsi yang ada. Tetapi sebagian besar terkonsentrasi di Papua, Kalimantan (Timur dan Selatan) Riau dan Sumatera Selatan.Meskipun wilayah hutan mangrove yang laus ditemukan di 5 provinsi seperti tersebut di atas, namun wilayah blok mangrove yang terluas di dunia tidak terdapat di Indonesia, melainkan di hutan mangrove Sundarbans (660.000 ha) yang terletak di Teluk Bengal, Bangladesh.

Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun luas total hutan mangrove yang masih ada di Indonesia belum diketahui secara pasti.Walaupun mangrove dengan mudah diidentifikasi melalui penginderaan jarak jauh, terdapat variasi yang nyata diantara data statistik yang dihimpun oleh instansi-instansi di Indonesia, misalnya yang ada di Departemen Kehutanan, dan yang ada di organisasi internasional seperti FAO berkisar antara 2,17 dan 4,25 juta hektar (mangrove dalam kawasan hutan).

Ketidakcocokan ini disebabkan oleh penggunaan data lama yang meluas. Angka 4,25 juta ha yang dikutip oleh FAO pada 1982 diambil sepenuhnya dari data tahun 1970-an. Sumber utama lain yang tampk tidak konsisten diantara sumber-sumber data adalah estimasi untuk Papua, yakni provinsi dengan hutan mangrove terluas yang berkisar dari 0,97 s/d 2,94 juta ha ( Departemen Kehutanan dan FAO 1990). Kemungkinan angka tersebut mencakup puluhan ribu hektar hutan rawa sagu (Metroxylon spp) yang terdapat di rawa air tawar pada tepian zona pantai di Papua.

Data terkhir yang terdapat di Ditjen RLPS Dep. Kehutanan tahun 2001 menunjukkan bahwa terdapat 8,6 juta ha mangrove di Indonesia, terdiri 3,8 juta ha di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta ha di luar kawasan hutan.

Untuk mengurangi ketidakpastian tentang luas hutan mangrove tersebut perlu dilakukan Inventarisasi Hutan Mangrove Nasional agar diperoleh kepastian dan pengelolaan yang lebih baik.

Hutan mangrove di Papua merupakan salah satu wilayah utama mangrove di Indonesia dan satu dari areal yang terluas di dunia , yang sampai saat ini tidak mendapat tekanan besar untuk dikonversi menjadi penggunaan lain dan ini memberi kesempatan khusus bagi Indonesia guna melaksanakan mandat nasional dan internasional untuk konservasi sumber daya biologi yang bermakna bagi dunia.

Walaupun angka yang ada tidak akurat, namun yang pasti telah terjadi adalah penurunan areal luas hutan mangrove secara drastis di Indonesia terutama di Sumatera Bagian Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa selama kurun waktu 20 tahun terakhir, sebagai akibat dari konservasi untuk penggunaan-penggunaan lain terutama pengembangan tambak akibat booming harga udang pada tahun 80-an dan 90-an.


1.4 Ancaman Terhadap Hutan Mangrove di Indonesia

Hutan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman yang meningkat dari berbagai pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat yang terdapat di seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Konsevasi kemanfaatan lain seperti untuk budidaya perairan, infrastruktur pantai termasuk pelabuhan, industri, pembangunan tempat perdagangan dan perumahan, serta pertanian, adalah penyebab berkurangnya sumber daya mangrove dan beban berat bagi hutan mangrove yang ada. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada mangrove melalui pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya.

Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan DAS yang serampangan, dan meningkatnya pencemar hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hdrologi. Hasil yang terjadi dari erosi tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen yang diendapkan di lingkungan mangrove adalah kematian masal (dieback) mangrove yang tidak terhindarkan lagi karena lentisel-nya tersumbat oleh sedimen tersebut. Polusi dari limbah cair dan limbah padat berpengaruh serius pada perkecambahan dan pertumbuhan mangrove.

Ancaman langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen , dan akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai.

Di seluruh Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh eksploitasi produk kayu sangat beragam, tetapi secar keseluruhan biasanya terjadi karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau industri pembuat arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove sangat jarang yang berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu mangrove tersebut biasanya dibuat untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan baku pembuat arang untuk diekspor keluar negeri.

Pada umumnya jenis-jenis magrove dimanfaatkan secara lokal untuk kayu bakar dan bahan bangunan lokal. Komoditas utama kayu mangrove untuk diperdagangkan secara internasional adalah arang yang berasal dari Rhizophora spp., yang mempunyai nilai kalori sangat tinggi.

Barangkali ancaman yang palingserius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga mangrove dunia akan menjadi sangat suram.


2. Justifikasi Perlunya Ekosistem Mangrove Dikelola Secara Berkelanjutan

Beberapa justifikasi untuk mengelola ekosistem mangrove secara berkelanjutan adalah :

2.1 Mangrove merupakan SDA yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flow resources yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan mangrove merupakan penyedia berbagai keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal. Selain itu sesuai dengan perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai jenis sumber daya sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara. Secara garis besar, manfaat ekonomis dan ekologis mangrove adalah :

a. Manfaat ekonomis, terdiri atas :

  1. Hasil berupa kayu (kayu konstruksi, tiang/pancang, kayu bakar, arang, serpihan kayu (chips) untuk bubur kayu)

  2. Hasil bukan kayu

  • Hasil hutan ikutan (tannin, madu, alcohol, makanan, obat-obatan, dll)

  • Jasa lingkungan (ekowisata)

b. Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindung lingkungan, baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagaia jenis fauna, diantaranya :

  • Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang

  • Pengendali intrusi air laut

  • Habitat berbagai jenis fauna

  • Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.

  • Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi

  • Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)

  • Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibandingkan tipe hutan lain.

2.2. Mangrove mempunyai nilai produksi primer bersih (PPB) yang cukup tinggi, yakni : biomassa (62,9-398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan riap volume (20 ton/ha/th, 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun). Besarnya nilai produksi primer ini cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan ehidupan masyarakat pesisir itu sendiri.

2.3 Dalam skala internasional, regional dan nasional, hutan mangrove luasnya relatif kecil bila dibandingkan, aik dengan luas daratan maupun luasan tipe hutan lainnya, padahal manfaatnya (ekonmis dan ekologis) sangat penting bagi kelangsungan kehidupan masyarakat (khususnya masyarakat pesisir), sedangkan dipihak lain ekosistem mangrove bersifat rentan (fragile) terhadap gangguan dan cukup sulit untuk merehabilitasi kerusakannya.

2.4 Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun biologis.

2.5 Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi yang saat ini sebagaian besar manfaatnya belum diketahui.


3. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan

3.1 Landasan Filosofi Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Berkelanjutan

Tindakan pengelolaan SDA mempunyai tujuan utama untuk menciptakan ekosistem yang produktif dan berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan pengelolaannya. Oleh karena itu pengelolaan SDA harus diarahkan agar :

    1. Praktek pengelolaan SDA harus meliputi kegiatan eksploitasi dan pembinaan yang tujuannya mengusahakan agar penurunan daya produksi alam akibat tindakan eksploitasi dapat diimbangi dengan tindakan peremajaan dan pembinaan. Maka diharapkan manfaat maksimal dari SDA dapat diperoleh secara terus menerus.

    2. Dalam pengelolaan SDA yang berkelanjutan, pertimbangan ekologi dan ekonomi harus seimbang, oleh karena itu pemanfaatan berbagai jenis produk yang diinginkan oleh pengelola dapat dicapai dengan mempertahankan kelestarian SDA tersebut dan lingkungannya.

Dengan demikian secara filosofis, pengelolaan SDA berkelanjutan dipraktekan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dari pengelola, dengan tanpa mengabaikan pemenuhan kebutuhan bagi generasi yang akan datang, baik dari segi keberlanjutan hasil maupun fungsi.

3.2 Permasalahan Utama dan Tujuan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan

Sebagai suatu ekosistem hutan, mangrove sejak lama telah diketahui memiliki berbagai fungsi ekologis, disamping manfaat ekonomis yang bersifat nyata, yaitu menghasilkan kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Sebagaimana halnya dalam pengelolaan SDA lain yang bermanfaat ganda, ekonomis dan ekologis, masalah utama yang dihadapi dalam pengelolaan hutan mangrove adalah menentukan tingka pengelolaan yang optimal, dipandang dari kedua bentuk manfaat (ekonomi dan ekologi tersebut).

Dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan peranannya dalam ekosistem SDA, yaitu :

    1. Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas yang terbatas pula.

    2. Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran ekosistem hutan lainnya.

    3. Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi.

Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan dalam memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam keadaannya yang asli dengan manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai berikut :

  1. Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem mangrove dengan menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan fungsi ekosistem yang bersangkutan.

  2. Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak.

  3. Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang kondusif bagi penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik.


3.3 Kendala dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove

a. Kendala Aspek Teknis

  1. Kondisi habitat yang tidak begitu ramah, yakni tanah yang anaerob dan labil dengan salinitas yang relatif tinggi apabila dibandingkan dengan tanah mineral, adanya pengaruh pasang surut dan sedimentasi serta abrasi pada berbagai lokasi tertentu.

  2. Adanya pencampuran komponen ekosistem akuatik (ekosistem laut) dan ekosistem daratan, yang mengakibatkan pengelolaannya menjadi lebih kmpleks. Hal ini mengharuskan kecermatan yang tinggi dalam menerapkan pengelolaan mengingat beragamnya sumber daya hayati yang ada pada umumnya relatif peka terhadap gangguan, dan adanya keterkaitan antara ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem produktif lainnya di suatu kawasan pesisir (padang lamun, terumbu karang, estuaria).

  3. Kawasan pantai dimana mangrove berada umumnya mendukung populasi penduduk yang ccukup tinggi, tetapi dengan tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan yang rendah.

b. Kendala Aspek Kelembagaan

Dalam pengelolaan wilayah pesisir beberapa kendala aspek kelembagaan diantaranya adalah :

  1. Tata ruang kawasan pesisir di banyak lokasi belum tersusun secara baik, bahkan ada yang belum sama sekali.

  2. Status kepemilikan bahan dan tata batas yang tidak jelas.

  3. Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan kawasan dan sumber daya mangrove

  4. Belum jelasnya wewenng dan tanggung jawab berbagai stake holder yang terkait

  5. Masih lemahnya law enforcement dari peraturan perundangan yang sudah ada

  6. Masih lemahnya koordinasi di antara berbagai instansi yang berkompeten dalam pengelolaan mangrove

  7. Praktek perencanaan, pelaksanaa dan pengendalian dalam pengelolaan mangrove belum banyak mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan tersebut.


3.4 Bentuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Pengelolaan ekosistem (hutan) mangrove hendanya mencakup tiga benruk kegiatan pokok, yakni :

  1. Pengusahaan hutan mangrove yang kegiatanna dapat dikendalikan dengan penerapan sistem silvikultur dan pengaturan kontrak (pemberian konsensi).

  2. Perlindungan dan pelestarian hutan mangrove yang dilakukan dengan cara menunjuk, menetapkan dan mengukuhkan hutan mangrove menjadi hutan lindung, hutan konservasi (Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Hutan Wisata, dll) dan kawasan lindung lainnya (Jalur hijau, sempadan pantai/sungai, dll)

  3. Rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak sesuai dengan tujuan pengelolaannya dengan pendekatan pelaksanaan dan penggunaan iptek yang tepat guna.



3.5 Kriteria Umum Penetapan Kawasan Hutan Mangrove Berdasarkan Fungsinya

Dalam rangka menetapkan suatu kawasan hutan mangrove ke dalam ktegori kawasan hutan produksi (kawasan budidaya) dan kawasan hutan yang dilindungi (kawasan lindung) harus ditetapkan arahan kriterianya secara nasional. Untuk keperluan tersebut beberapa atribut yang dapat dijadikan kriteria antara lain adalah :

a. Kondisi fisik areal hutan

  • Ukuran relatif pulau dimana mangrove tumbuh

  • Luas areal hutan

  • Kondisi tanah

b. Keunikan, kelangkaan, keterwakilan dan kekhasan, baik pada level ekosistem maupun pada level sumber daya (jenis flora/fauna).

c. Kerawanan fungsi lindung terhadap lingkungan

d. Ketergantungan penduduk lokal terhadap hutan

e. Stok tegakan beserta regenerasinya dan hasil hutan bukan kayu, baik yang sudah ada peluang pasarnya maupun yang belum ada peluang pasarnya.

Berdasarkan tingkat pembobotan dari atribut-atribut tersebut di atas, maka dapat dilakukan scoring sebagai batas penetapan kawasan hutan mangrove berdasarkan fungsinya di suatu daerah.

Selain itu, penetapan suatu kawasan hutan mangrove menjadi kawasan lindung (hutan lindung dan hutan konservasi) dapat dilakukan tanpa sistem scoring apabila kondisi fisik areal hutan dan potensi sumber daya hayatiya dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan, misal :

  1. Mangrove yang tumbuh di tanah berkoral atau tanah pasir podsol atau tanah gambut

  2. Mangrove yang tumbuh pada kawasan pesisir yang arus air lautnya deras

  3. Mangrove tempat bertelur penyu atau tempat berkembang biak/mencari makan/memijah jenis ikan yang langka/hampir punah/endemic

  4. Kawasan lainnya yang dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan.

Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Mangrove Produksi Lestari


Sampai saat ini kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam mangrove produksi secara lestari belum disusun secara formal. Pada tahun 1999 LPP Mangrove (Yayasan Mangrove) mengadakan Workshop Penyempurnaan Kriteria Indikator Pengelolaan Hutan Alam Mangrove Produksi Lestari. Beberapa Kriteria dan Indikator hasil workshop tersebut yang mungkin dapat dijadikan acuan antara lain adalah :


Kriteria 1 : Kelestarian fungsi produksi

Indikator :

      1. Kepastian penggunaan lahan sebagai kawasan hutan

      2. Perencanaan dan implementasi penataan hutan menurut fungsi dan tipe hutan

      3. Besaran perubahan penutupan lahan hutan akibat perambahan dan alih fungsi kawasan hutan dan gangguan lainnya

      4. Pemilihan dan penerapan sistem silvikultur yang sesuai dengan ekosistem hutan setempat

      5. Macam dan jumlah hasil hutan non kayu terjamin

      6. Investasi untuk penataan dan perlindungan hutan

      7. Realisasi dana yang dialokasikan untuk pengelolaan kawasan dilindungi dan keanekaragaman hayati, termasuk spesies endemic, langka dan dilindungi.

      8. Pengorganisasian kawasan yang menjamin kegiatan produksi yang kontinyu yang dituangkan dalam berbagai tingkat rencana dan diimplementasikan

      9. Produksi tahunan sesuai dengan kemampuan produktivitas hutan

      10. Efisiensi pemanfaatan hutan

      11. Tingkat kerusakan pohon induk

      12. Keabsahan sistem lacak balak dalam hutan

      13. Kelancaran dan keteraturan pendanaan untuk kegiatan perencanaan, produksi dan pembinaan hutan.

      14. Kesehatan perusahaan

      15. Peran bagi pembangunan ekonomi wilayah

      16. Sytem informasi manajemen

      17. Satuan Pemeriksaan Internal (SPI)

      18. Tersedianya tenaga profesional untuk perencanaan, perlindungan, produksi, pembinaan hutan dan manajemen bisnis

      19. Investasi dan reinvestasi untuk pengelolaan hutan

      20. Peningkatan modal hutan


Kriteria 2 : Kelestarian fungsi ekologis

Indikator :

  1. Proporsi luas kawasan dilindungi yang berfungsi baik terhadap total kawasan yang seharusnya dilindungi serta telah dikukuhkan dan atau keberadaannya diakui pihak terkait.

  2. Propoprsi luas kawasan dilindungi yang tertata baik terhadap total kawasan yang seharusnya dilindungi dan sudah ditata batas di lapangan

  3. Intensitas gangguan terhadap kawasan dilindungi

  4. Kondisi kenekaragaman spesies flora dan/atau fauna di dalam kawasan dilindungi pada berbagai formasi/ tipe hutan yang ditemukan di dalam unit manajemen

  5. Intensitas kerusakan struktur hutan dan komposisi spesies tumbuhan

  6. Efektifitas penyuluhan mengenai pentingnya pelestarian ekosistem hutan sebagai sistem penyangga kehidupan , dampak aktivitas lewat panen terhadap ekosistem hutan dan pentingnya pelestarian spesies dilindungi/endemic/langka

  7. Intensitas dampak kegiatan kelola produksi terhadap satwa liar endemic/langka/dilindungi dan habitatnya

  8. Pengamanan satwa liar endemic/langka/dilindungi dan habitatnya


Kriteria 3 : Kelestarian fungsi Sosial

Indikator :

  1. Batas antara kawasan konsesnsi dengan kawasan komunitas setempat terdeliniasi secara jelas dan diperoleh melalui persetujuan antar pihak yang terkait di dalamnya.

  2. Akses dan kontrol penuh masyarakat secara lintas generasi terhadap kawasan hutan adat terjamin.

  3. Akses pemanfaatan hasil hutan oleh komunitas secara lintas generasi di dalam kawasan konsensi terjamin

  4. Digunakannya tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang tepat terhadap pertentangan klaim atas hutan yang sama

  5. Sumber-sumber ekonomi komunitas minimal tetap mampu mendukung kelangsungan hidup komunitas secara lintas generasi

  6. Komunitas mampu mengakses kesempatan kerja dan peluang berusaha yang terbuka

  7. Modal domestik berkembang

  8. Peninjauan berkala terhadap kesejahteraan karyawan

  9. Minimasi dampak unit manajemen pada integrasi sosial dan kultural

  10. Kerjasama dengan otoritas kesehatan

  11. Keberadaan dan pelaksanaan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)

  12. Pelaksanaan Upah Minimum Regional / Provinsi dan Struktur gaji yang adil

  13. Terjaminnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)





Sumber : Seminar Pengelolaan Hutan Mangrove Denpasar, Bali 8 September 2003


Tidak ada komentar:

Posting Komentar